Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Sejarah Sholawat Badar

Shalawat Badar adalah “Lagu Wajib” Nahdlatul Ulama. Berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW dan Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar). Berbentuk Syair, dinyanyikan dengan lagu yang khas.

Shalawat Badar digubah oleh Kia Ali Mansur Banyuwangi, salah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember tahun 1960. Kiai Ali Mansur  saat itu menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama. Proses terciptanya Shalawat Badar penuh dengan misteri dan teka-teki.

Konon, pada suatu malam, ia tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu.

Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sajak ketika masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.

Kegelisahan Kiai Ali Mansur berbaur dengan rasa heran, karena malam sebelumnya bermimpi didatangi para habib berjubah putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhy.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.

Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang kerumahnya sambil mebawa beras, daging, dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita, bahwa pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya.

“Siapa orang yang berjubah putih itu?” Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali Mansur tanpa jawaban. Namun malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk apa.?

Menjelang matahari terbit, serombongan habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta, datang kerumah Kia Ali Mansur. “Alahamdulillah………,” ucap kiai Ali Mansur ketika melihat rombongan yang datang adalah para habaib yang sangat dihormati keluaganya.

Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur: “ Ya Akhy! Mana Syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!” Tentu saja Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karomah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah perkara aneh dan perlu dicurigai.

Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka.  Secara kebetulan Kiai Ali Mansur juga memiliki suara bagus. Ditengah alunan suara Shalawat Badar itu para Habaib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru.

Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan oleh Kiai Ali Mansur, Hbib segera bangkit.

“Ya Akhy….! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar…!” serunya dengan nada mantap. Setelah Habib Ali memimpin doa, lalu rombongan itu mohon diri. Sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI.

Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH. Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itulah Shalawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur.

Sumber : Antologi NU Jilid I. Pengantar KH. Abdul Muhith Muzadi

Sejarah Hadroh Di Indonesia

Assalamualaikum Wr. Wb.
Kali ini kami akan bercerita sedikit bagaimana sejarah hadroh di Indonesia.
Hadrah tak lepas dari sejarah dakwah Islam. Dengan syair2 keAgungan Allah dan Puji2an terhadap Rasulullah memiliki semangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada yang tahu secara persis, kapan datangnya musik hadrah di Indonesia. Namun hadroh tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam para Wali Songo.
Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa pada setiap tahun di serambi Masjid Agung Demak, Jawa Tengah diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana. Para Wali songo menggadopsi rebana dari Hadrolmaut sebagai seni musik yang dijadikan media untuk berdakwah.
Berdasarkan keterangan ulama besar Palembang Al Habib Umar Bin Thoha Bin Shahab, adalah Al Imam Ahmad Al Muhajir (kakek dari Wali Songo kecuali Sunan Kalijaga), ketika hijrah ke Yaman ( Hadrolmaut ) bertemu dengan salah satu pengikut tariqah sufi (darwisy) yang sedang asyik memainkan hadrah (rebana) serta mengucapkan syair pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan pertemuan itu mereka bersahabat. Setiap Imam Muhajir mengadakan majelis maka disertakan darwisy tersebut, hingga keturunan dari Imam Muhajir tetap menggunakan hadrah disaat mengadakan suatu majelis.
Hadrah selalu menyemarakkan acara-acara Islam seperti peringatan Maulid Nabi, tabligh akbar, perayaan tahun baru hijriyah, dan peringatan hari-hari besar Islam lainnya. Sampai saat ini hadrah telah berkembang pesat di masyarakat Indonesia sebagai musik yang mengiringi pesta pernikahan, sunatan, kelahiran bayi, acara festival seni musik Islami dan dalam kegiatan ekstrakulikuler di sekolahan, pesantren, remaja masjid dan majelis taklim.
Pasca kemerdekaan, perkembangan musik hadrah di Indonesia tak terlepas dari peranan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (Ishari). Ishari adalah salah satu badan otonom yang berada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), disahkan pada tahun 1959. Pengorganisasian dan nama ISHARI diusulkan oleh salah seorang pendiri NU yakni KH Wahab Chasbullah.
Menurut Gus Hasib, putra KH Wahab Hasbullah, semasa hidup, Kiai Wahab sangat senang hadrah. Bahkan kalau sedang diam tangannya suka memukul-mukul sebagai isyarat memukul hadroh sambil melagukan bacaan sholawat. Karena ia juga senang berorganisasi akhirnya kelompok hadrah dibuatkan wadah perkumpulan dibawah organisasi NU dengan nama ISHARI atau Ikatan Seni Hadroh Republik Indonesia.
Terbentuknya ISHARI di NU menjadi salah satu organisasi yang memelopori tradisi keagamaan warga pesantren dengan menghidupkan pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Hampir seluruh pesantren di Jawa Timur memiliki kegiatan ekstra setiap malam jum’at menggelar kegiatan shalawatan. Sebut misalnya Pondok Pesantren Langitan Tuban, Jawa Timur. Selain mendalami ilmu agama, di pesantren yang diasuh KH Abdullah Faqih ini juga terdapat kegiatan seni hadrah untuk para santri.
Hadrah menjadi media apresiasi seni bagi para santri untuk menyalurkan bakat dan minat santrinya. Walhasil, beberapa group pun terbentuk antara lain Annabawiyyah, Arraudhah dan Al-Muqtasida. Kemahiran para santri dalam bidang seni suara (qiraat) dan seni musik (hadroh) berpadu sehingga tiga grup tersebut dikenal khalayak umum di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, hingga sekarang.
Saat ini hampir seluluh pulau jawa mengenal hadroh, banyak majelis2 besar yang di pimpin oleh para habaib yang menggunakan hadroh sebagai sarana dakwan dan sebagai penarik jamaan agar mau mengaji.
Salasatu Majelis dengan grup hadroh yang sangat populer se indonesia dan negara timur yaitu Ahbabul Mustofa dangan imam besarnya Habib Syech Bin Abdul Qadir Assegaf.